HeadlinePeristiwa

Dimasa Pandemi Pasutri Rentan Bercerai

135
×

Dimasa Pandemi Pasutri Rentan Bercerai

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi/Shutterstock

WartaDepok.com – Dimasa Pandemi menjadi saat paling rentang bagi pasangan suami istri untuk bercerai, alasannya mulai dari sering bertengkar hingga masalah ekonomi.

Maria (32) duduk sendirian di ruang tunggu Pengadilan Agama. Ia ingin memohon pengajuan perceraian. Dirinya mengaku ingin menggugat cerai suaminya lantaran tak lagi memberi nafkah setelah berhenti bekerja.

“Saya mau gugat cerai suami saya, karena saya sering ribut, gara-gara dia berhenti bekerja,” katanya.

Saat Pandemi protoi kesehatan di PA Kota Depok lebih ketat, sebelum menjalani proses adminitrasi, lebih dulu dirinya mesti melewati prosedur kesehatan Covid-19. Cuci tangan dan memakai masker.

“Saya sempat diperiksa suhu tubuh dan cuci tangan. Pengunjung juga diwajibkan bermasker,” tukasnya.

Memang, sejalan dengan perkembangan Covid-19 di Kota Depok, proses perceraian juga berpengaruh. Jumlah pemohon dibatasi. Ini dilakukan guna menghindari penularan virus berbahaya ini.

“Sehari hanya kami batasi 20 pendaftaran saja. Padahal yang mau mendaftar banyak. Tapi tidak bisa karena ada pembatasan,” ungkas Humas Pengadilan Agama Kota Depok, Dindin Syarief.

Humas Pengadilan Agama Kota Depok, Dindin Syarief menuturkan alasan paling banyak karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Itu sebanyak 408 pasangan. Disusul dengan faktor ekonomi sebanyak 99 kasus.

“Paling banyak karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sebanyak 408 kasus,” beber Dindin.

Selain itu, terdapat perceraian akibat meninggalkan salah satu pihak sebanyak 48 kasus, KDRT 4 kasus, murtad 3 kasus, kawin paksa 2 kasus, cacat badan 2 kasus, mabuk 1 kasus, dan dihukum penjara 1 kasus.

Sementara terpisah Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Dr Tin Herawati menyampaikan jumlah perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, selama periode Januari sampai Agustus tahun 2020, jumlah perceraian di Indonesia mencapai 306.688 kasus.

Kasus perkawinan terbanyak berada pada usia perkawinan 0-5 tahun dan konsisten dengan pola tahun sebelumnya. Perceraian juga menimpa pada pasangan usia produktif antara 20-30 tahun.

Faktor penyebab perceraian terbesar pertama adalah adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus terus menerus dan berikutnya adalah masalah ekonomi.

Berdasarkan kondisi tersebut maka masalah ekonomi keluarga perkumpulan kerawanan dalam perceraian.

Masalah ekonomi yang disebabkan beberapa hal, di mana kehilangan pekerjaan, pendapatan yang rendah, hutang yang dimiliki dan ketidakstabilan pekerjaan.

Kondisi ini yang menyebabkan ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan berdampak buruk terhadap kehidupan keluarga.

Hasil kajian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, selama pandemi COVID-19, terjadi kerentanan keluarga secara ekonomi, khususnya bagi keluarga yang miskin, rentan dan yang bekerja di sektor informal.

Sebanyak 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (kurang dari Rp 1,8 juta) mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Menurunnya penerimaan yang diterima keluarga menjadi salah satu penyebab terjadinya tekanan ekonomi keluarga.

Dengan kondisi tersebut maka masa pandemi COVID-19 dapat didasarkan pada kasus perceraian yang semakin meningkat.

Menurut Dr Tin, hasil beberapa kajian menunjukkan bahwa masalah ekonomi berkontribusi meningkatkan stres, kerenggangan hubungan suami isteri serta berkaitan dengan masalah-masalah lainnya.

Seperti masalah kesehatan dan gangguan psikologis yang mengarah pada keputusan perceraian.

Masalah ekonomi meningkatkan risiko permusuhan dan berkurangnya kehangatan emosional dalam pernikahan serta meningkatkan risiko konflik pernikahan. Oleh karena itu aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang sangat penting bagi kehidupan keluarga.

Penguatan ekonomi sangat diperlukan dan harus dipersiapkan sejak dini dengan baik, sehingga keluarga akan terhindar dari perceraian.

BACA JUGA:  Sebanyak 12 Bangunan Cagar Budaya di Depok Bebas PBB

“Untuk menghadapi masalah ekonomi sehingga terhindar dari perceraian maka pertama keluarga harus memiliki keyakinan sistem yang lebih kuat (sistem kepercayaan keluarga), yaitu kemampuan keluarga dalam memberikan makna terhadap suatu kesulitan yang terlihat, memandangnya secara positif dan mengembangkan optimisme di masa depan dengan menempatkan keyakinan Tuhan” ungkapnya.

Kedua, family harus memiliki pola organisasi yang tertata dengan baik yaitu mampu menyesuaikan kondisi yang berhubungan dan menciptakan hubungan yang lebih erat antar anggota keluarga.

Keluarga juga harus menyediakan sumberdaya (uang, waktu) yang dimiliki.

“Terakhir keluarga harus menjalankan proses komunikasi (proses komunikasi), yaitu kemampuan yang memberikan kejelasan terhadap permasalahan yang berhubungan, berbagi perasaan dan emosi yang positif satu sama lain.

Bekerja sama dalam menjalankan fungsi keluarga termasuk di dalamnya fungsi ekonomi serta mampu memecahkan masalah secara bersama-sama,” pungkasnya. (rub/WD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *