WartaDepok.com – Integrasi antar moda pada Light Rail Transit (LRT) Jabodebek yang direncanakan beroperasi pada pertengahan tahun 2022 akan menjadi faktor penting efektifitas moda tersebut sebagai angkutan umum massal.
Oleh karena itu sejak 2018 Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan telah melakukan langkah-langkah koordinasi menjembatani penyusunan konsep integrasi moda LRT Jabodebek antara Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) dan PT Adhi Karya yang mendapatkan penugasan pembangunan LRT Jabodebek dengan para stakeholder lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala BPTJ Polana B Pramesti di kantornya baru-baru ini.
Menurut Polana konsep tentang bagaimana integrasi moda tersebut saat ini telah tersusun, meski masih terus membutuhkan langkah-langkah lanjut dan penyempurnaan agar konsep tersebut dapat terealisasikan.
Tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan integrasi antar moda layanan LRT Jabodetabek umumnya merupakan masalah klasik dalam pengelolaan transportasi di wilayah aglomerasi.
Banyaknya pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan transportasi, memunculkan sekat-sekat baik didalam kebijakan maupun realitas layanan transportasi di lapangan.
Di sinilah langkah-langkah koordinasi untuk mensinergikan pengelolaan moda perlu dilakukan untuk mewujudkan integrasi antar moda tersebut.
Lebih lanjut Polana menguraikan bahwa LRT Jabodebek diharapkan akan menjadi salah satu moda yang dapat diandalkan untuk mengurangi kemacetan di Jabodebek.
Kehadirannya sebagai angkutan umum massal berbasis rel kelak diharapkan dapat meningkatkan perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal.
Namun demikian agar harapan tersebut tercapai banyak hal yang harus dipersiapkan dari awal termasuk diantaranya menyangkut integrasi LRT Jabodebek ini dengan moda lainnya.
“Masyarakat tentu akan mengandalkan LRT Jabodebek jika angkutan massal ini dapat memberikan kemudahan untuk mobilitas mereka.
Masyarakat akan diuntungkan jika misalnya waktu tempuh lebih cepat dibanding kendaraan pribadi serta terdapat kemudahan akses menuju stasiun terdekat ataupun kemudahan akses berganti moda dari stasiun pemberhentian menuju titik terakhir tujuan mereka,” jelas Polana.
Di sinilah menurut Polana integrasi antar moda menjadi faktor penentu, tak hanya integrasi secara fisik namun juga secara pelayanan.
Secara keseluruhan Polana menjelaskan lintasan layanan LRT Jabodebek total memiliki panjang 44,43 km yang terbagi dalam 3 lintas pelayanan.
Cawang-Cibubur sebagai lintas pelayanan I memiliki panjang lintasan 14,89 km dengan 4 stasiun di dalamnya. Sementara itu lintas pelayanan II adalah Cawang – Dukuh Atas sejauh 11.05 km dengan 8 stasiun.
Lintas pelayanan terakhir (III) adalah Cawang – Bekasi Timur sejauh 18,49 km dengan 6 stasiun termasuk di dalamnya stasiun integrasi antara LRT Jabodebek dengan Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Meski hanya sepanjang 44, 43 km, implikasi pembangunan LRT ini cukup kompleks karena banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
Setidaknya ada 2 Pemerintah Propinsi, 3 pemerintah kota/kabupaten, beberapa kelembagaan Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD, swasta, lembaga sosial maupun masyarakat secara langsung yang harus diselaraskan kepentingannya dan didorong partisipasinya guna mendukung kelancaran pembangunan dan pengoperasian LRT Jabodebek.