WartaDepok.com – Fenomena Urban Heat Island (UHI) semakin nyata dirasakan di kota-kota besar Indonesia. Suhu udara di pusat kota kerap lebih panas dibandingkan kawasan pinggiran atau pedesaan. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh bangunan beton dan jalan beraspal yang menyerap panas, tetapi juga oleh konsumsi energi masyarakat yang berlebihan.
Isu tersebut menjadi perhatian dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat skema Edukasi Masyarakat secara daring bertajuk “Net Zero from Home: Hemat Energi, Redam Urban Heat Island!”. Kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Irfani Fithria Ummul Muzayanah bersama tim dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), yakni Putu Angga Widyastaman, M.S.E., serta Ikrar Genidal Riadil, S.Pd., B.SEd., M.A.. Acara juga menghadirkan narasumber dari STIKES Guna Bangsa Yogyakarta, Wisnu Budi Waluyo, S.I.P., M.Sc., pakar di bidang Environment Health dan Development and Sustainability.
Dr. Irfani menjelaskan bahwa Urban Heat Island adalah kondisi ketika suhu di kawasan perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. “Permukaan beton, minimnya vegetasi, serta penggunaan energi yang berlebihan menjadi penyebab utama meningkatnya suhu tersebut,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (10/09).
Ia menambahkan, penggunaan peralatan rumah tangga seperti AC, kulkas, televisi, dan lampu tanpa bijak menghasilkan limbah panas tambahan. “Sejumlah literatur menyebutkan, limbah panas antropogenik dapat meningkatkan suhu lokal hingga 1–3 derajat Celcius di pusat kota,” tambahnya.
Sementara itu, Wisnu Budi Waluyo menegaskan bahwa konsumsi energi rumah tangga memiliki kontribusi besar terhadap kondisi ini. Sekitar 40 persen energi nasional digunakan untuk bangunan dan sistem pendingin. “Ironisnya, sebagian besar listrik di Indonesia masih bergantung pada pembangkit berbasis batu bara. Artinya, semakin banyak listrik yang digunakan, semakin besar pula emisi karbon dan panas buangan yang dilepaskan ke lingkungan,” jelasnya.
Meski begitu, masyarakat tetap dapat berperan aktif dalam meredam dampak UHI melalui kebiasaan hemat energi di rumah. Wisnu mencontohkan penggunaan lampu LED, pengaturan suhu AC pada 25 derajat, pemanfaatan ventilasi alami, serta memaksimalkan cahaya matahari di siang hari. “Perubahan kecil di tingkat rumah tangga bisa menghasilkan dampak besar bagi lingkungan,” ujarnya.
Gaya hidup hemat energi juga membawa manfaat ekonomi. Menurunnya konsumsi listrik akan mengurangi permintaan energi dari pembangkit, sehingga emisi gas rumah kaca berkurang, beban jaringan listrik lebih ringan, dan biaya rumah tangga dapat ditekan. Wisnu menambahkan, meningkatnya kesadaran masyarakat dalam memilih peralatan hemat energi juga akan mendorong produsen menghadirkan lebih banyak perangkat ramah lingkungan. “Dengan demikian, mekanisme pasar berjalan, kebijakan energi bisa berubah, dan dampak Urban Heat Island dapat ditekan,” katanya.
Melalui kegiatan ini, tim pengabdian masyarakat FEB UI menegaskan pentingnya peran rumah tangga dalam mewujudkan target Net Zero Emission. Perubahan sederhana sehari-hari tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga menjaga kualitas lingkungan perkotaan.
“Net Zero from Home bukan sekadar slogan, melainkan aksi nyata yang bisa dimulai dari kebiasaan kecil. Semakin kita sadar, semakin besar dampak positif yang dapat kita ciptakan bersama,” pungkas Ikrar Genidal Riadil menutup acara. (*)