WartaDepok.com – Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, hadir sebagai pembicara pembuka dalam Southeast Asia Forum 2025. Konferensi internasional yang berlangsung pada 15–16 November 2025, di Guangzhou, Tiongkok ini diselenggarakan South China Normal University (SCNU) bekerja sama dengan Guangdong International Cultural Exchange Centre dan Cross-Strait, Hong Kong and Macao Collaborative Innovation Alliance.
Dalam kesempatan itu, Rektor UI hadir bersama 300 peserta lain dari kalangan pemerintah, akademisi, serta industri dari Tiongkok dan 11 negara Asia Tenggara, dengan hampir 20.000 penonton secara daring. Forum ini mempertemukan para tokoh terkemuka dari seluruh kawasan untuk mendorong inovasi dan kolaborasi riset regional.
Melalui pemaparan berjudul “75th Years Anniversary of Indonesia-China Strengthening Partnership by Strategic Triple Helix Collaborations”, Prof. Heri menyoroti pentingnya memperkuat kerja sama Indonesia–Tiongkok melalui model triple helix untuk menciptakan inovasi yang berdampak, pembangunan berkelanjutan, serta peningkatan daya saing kedua negara di tingkat global.
“Perjalanan pembangunan Tiongkok memberikan banyak wawasan berharga bagi Indonesia,” ujarnya, seraya menggarisbawahi pesatnya investasi Tiongkok dalam infrastruktur dan teknologi selama satu dekade terakhir.
Menurutnya, Indonesia–China perlu memperkuat kemitraan strategis karena keduanya memiliki potensi besar. Indonesia memiliki populasi muda, pasar yang terus berkembang, serta sumber daya alam yang melimpah, sementara China unggul dalam manufaktur, teknologi 5G, kecerdasan artifisial, kendaraan listrik, dan energi hijau. Sinergi antara kapasitas Indonesia dan keunggulan teknologi China dapat melahirkan kemitraan yang kuat untuk mempercepat transformasi industri, memperkuat inovasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di kedua negara.
Prof. Heri menekankan bahwa kerja sama yang optimal hanya dapat dicapai melalui kolaborasi triple helix antara pemerintah, industri, dan universitas. Pemerintah berperan menyediakan kebijakan, insentif, serta pembangunan infrastruktur yang kondusif; industri mendorong investasi, pengembangan produk, dan proses komersialisasi; sementara universitas menjadi pusat riset, inovasi, dan pengembangan sumber daya manusia.
“Model kerja sama ini berhasil diterapkan di China, khususnya melalui kolaborasi antara Huawei dan Tsinghua University yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah, sehingga mampu mempercepat transfer teknologi dan penguatan ekosistem inovasi nasional,” kata Prof. Heri.
Untuk itu, UI sebagai aktor kunci berperan penting dalam menciptakan pengetahuan dan riset multidisiplin, melakukan transfer pengetahuan dan teknologi kepada industri, memberikan rekomendasi kebijakan publik berbasis riset, serta mengembangkan talenta nasional yang kompetitif secara global.
“UI telah membangun beragam kerja sama strategis dengan universitas-universitas terkemuka di China. Kolaborasi ini tidak hanya memperluas jejaring akademik, tetapi juga memperkuat ekosistem inovasi melalui sinergi riset, peningkatan kualitas pembelajaran, serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Upaya tersebut menjadi fondasi penting dalam memperdalam hubungan akademik antarkedua negara dan mendukung lahirnya kerja sama yang lebih produktif di masa depan,” ujar Prof. Heri menambahkan.
Dalam forum yang mengusung tema “Inclusive Cooperation and Resilient Development Among the Guangdong-Hong Kong-Macao Greater Bay Area, Hainan Free Trade Port, and Southeast Asia Amid Global Transformation”, Professor Wu Jian, former Vice President of SCNU and Director of its Center for Southeast Asian Studies, menyoroti dinamika baru dalam kerja sama regional.
Ia menegaskan bahwa menjaga momentum kolaborasi dalam bidang pendidikan, teknologi, dan pengembangan talenta sangat penting untuk membangun komunitas China-ASEAN yang lebih erat. “Ketika hubungan China–Asia Tenggara memasuki fase baru, kita harus terus meninjau kebutuhan yang muncul dan meningkatkan strategi kita,” ujarnya.
Tak hanya itu, forum ini juga menjadi ajang peluncuran biografi Marching Across Boundaries on the Stormy Seas – The Biography of Fadjar Suhendra, volume perdana dari seri Biographies of Chinese Overseas in Southeast Asia. Buku tersebut menyoroti sosok industrialis dan pendidik Indonesia, Su Yongfa (Fadjar Suhendra), yang dikenal atas inovasi industrinya serta dukungan berkelanjutan terhadap pendidikan bahasa Mandarin yang mendorong hubungan sosial, pendidikan, dan budaya Indonesia dan komunitas Tionghoa di Asia Tenggara.












