Opini

Siapa Peduli pada Pendidik di Garis Sunyi?

29
×

Siapa Peduli pada Pendidik di Garis Sunyi?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Firmansyah, S.Pd.

Tutor di SPNF–SKB Kota Depok

WartaDepok.com – Di berbagai sudut negeri, ketika lonceng sekolah formal berhenti berdentang, masih ada ruang belajar yang tetap menyala. Ruang itu bernama Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).

Di sana, para tutor berdiri sebagai pendidik bagi mereka yang terhalang menempuh sekolah reguler: pekerja anak, ibu rumah tangga putus sekolah, hingga mereka yang ingin memperbaiki masa depan di usia tak lagi belia. Para tutor ini hadir tanpa banyak tepuk tangan, namun terus menjaga agar cahaya pendidikan tidak padam bagi siapa pun.

Kita sering lupa bahwa tutor SKB melaksanakan kewajiban yang sama seperti guru di sekolah formal. Mereka mengajar, membimbing, menilai, menyusun perangkat ajar, dan memotivasi peserta didik untuk kembali percaya bahwa harapan itu nyata.

Apa yang mereka lakukan sejalan dengan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.

Tetapi di sinilah ironi itu menganga. Ketika kewajiban mereka setara, hak mereka justru belum diakui. Jalur utama menuju sertifikasi pendidik dan tunjangan profesi,

yaitu Pendidikan Profesi Guru (PPG), hingga kini masih lebih berpihak kepada guru yang mengajar di sekolah formal. Banyak tutor SKB yang terus mengabdi tanpa perlindungan profesi, tanpa kepastian kesejahteraan, dan tanpa status yang jelas dimata negara.

Standar untuk menjadi tutor sesungguhnya sudah tinggi. Pendidikan minimal Sarjana (S1) menjadi syarat wajib. Artinya negara telah mengakui bahwa tugas mereka adalah profesi yang menuntut kompetensi, tanggung jawab, dan etika.

Namun jika pengakuan pada kompetensinya sudah jelas, mengapa hak profesinya masih samar?Tak sedikit tutor mengampu 4–5 mata pelajaran sekaligus. Mereka berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya, namun penghasilan yang diterima masih belum menyentuh UMR. Mereka menghidupkan asa ribuan warga belajar, tetapi kesejahteraan mereka sendiri masih bertumpu pada ketulusan dan keberanian untuk bertahan.

Lebih ironis lagi, nilai perjuangan para tutor SKB sejatinya merupakan wujud pengamalan Sila Kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab. Mereka memperjuangkan hak dasar pendidikan bagi saudara-saudara kita yang rentan secara sosial dan ekonomi. Akan tetapi, pendidik yang memperjuangkan keadilan justru belum merasakan keadilan dalam profesinya sendiri.

Momentum Hari Guru semestinya tidak hanya merayakan para pendidik yang berada di ruang kelas megah dengan fasilitas lengkap, tetapi juga mengangkat derajat mereka yang bekerja di garis sunyi. Pemerintah dan publik harus menyadari bahwa sistem pendidikan nasional akan timpang bila hanya memuliakan sebagian pendidik dan melupakan yang lain.

Perlu keberanian kebijakan untuk menegakkan keadilan: PPG yang inklusif bagi tutor SKB, penguatan posisi profesi pendidik nonformal dalam regulasi, serta skema tunjangan yang berpijak pada beban kerja dan dedikasi nyata. Kesetaraan yang diperjuangkan dalam pendidikan harus diwujudkan dalam kebijakan profesi.

Jika murid kesetaraan memiliki hak yang setara, maka pendidik yang mengajar mereka pun selayaknya memiliki hak yang setara. Cahaya pendidikan tidak boleh hanya bersinar di pusat kota; ia harus menerangi setiap jengkal negeri ini. Dan para tutor SKB akan terus berdiri sebagai lentera yang menyala bahkan bila negara belum menengok ke arah mereka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *